Minggu, 25 Mei 2014

MASA`IL PADA BAHTSUL MASA`IL PWNU JATENG DI PCNU KABUPATEN PURWOREJO, SENIN 2 JUNI 2014



MASA`IL PADA BAHTSUL MASA`IL PWNU JATENG
DI PCNU KABUPATEN PURWOREJO, SENIN 2 JUNI 2014

1. KASUS PEMBAYARAN DIYAT
Deskripsi Masalah

Berita kasus pembunuhan yang melibatkan tenaga kerja asal Indonesia beberapa tahun terakhir sering menghiasi media lokal maupun internasional. Terutama saat kasus tersebut terjadi di negara yang masih memberlakukan hukum Islam, qishas seperti Arab Saudi dan lain-lain. Usaha dan upaya pemerintah Indonesia melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Luar Negeri dalam melakukan diplomasi agar digugurkannya hukum qishash bisa dibilang cukup berhasil dengan menawarkan kepada pihak keluarga korban uang pemaafan atau membayar uang diyat sebagai ganti dari qishah. Tetapi tak jarang masalah kembali muncul saat keluarga korban atau pihak-pihak terkait meminta uang tebusan diyat melebihi standar atau ketentuan. Diyat seratus ekor onta saat dinominalkan dengan riyal atau rupiah ternyata yang diminta keluarga korban jauh melebihi harga standar 100 ekor onta yang seharusnya.

Misalnya saja dalam kasus Satinah binti Djumadi, TKW asal Ungaran Jawa Tengah yang divonis melakukan pembunuhan terhadap majikannya di Arab Saudi. Menurut laporan dari kedutaan besar Arab Saudi, besaran uang diyat 100-150 ekor onta yang kurang lebihnya setara dengan 1,5 s/d 2,5 miliar tetapi keluarga korban bersikukuh minta tebusan yang jauh diatasnya, yaitu 7,5 juta Riyal atau setara dengan Rp 25 miliar. Komisi I DPR RI pun akhirnya mengusulkan agar pemerintah bertanggung jawab melakukan pembayaran diyat dengan mengambil uang tebusan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), anggaran Kemenakertrans, Kemenlu, BNP2TKI, Kemenkeu dan lain-lain.
Pertanyaan:
a. Apakah tuntutan uang yang melebihi ketentuan diyat tersebut dibenarkan menurut syariat?
b. Apakah dibenarkan tindakan pemerintah membayar uang tuntutan keluarga korban dari APBN?
c. Jika uang tuntutan keluarga korban tidak dapat dipenuhi, apakah keluarga korban diperbolehkan mencabut tuntutannya lalu menuntut diberlakukannya qishos?   

(Pertanyaan dari PCNU  Kabupaten Sragen)




2. TERJEMAH AL-QURAN
Deskripsi masalah:

     Sebagaimana telah maklum bahwa dalam memahami ayat atau hadits sifat (Allah) para ulama Ahlussunnah berbeda pendapat. Generasi salaf membiarkan apa adanya tanpa takwil tafsil, cukup takwil ijmaly bahwa Allah SWT tidak seperti lahirnya lafazh dalam teks tersebut. Berbeda dengan generasi khalaf yang memilih mentakwil secara terperinci.
Berbagai macam alih bahasa Al Quran ke bahasa ‘ajamy telah dilakukan sejak dahulu. Hal ini dilakukan untuk mempermudah teks Al Quran bagi yang tidak memahami tata bahasa Arab.
Masalah muncul ketika alih bahasa tersebut  tdak disertai dengan tafsir atas teks yang dimaksud sehingga membuat pemahaman menjadi keliru. Sebagai contoh, dalam terjemahan surah Al Fath 10: “Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah diatas tangan mereka” . Alih bahasa semacam ini dapat memunculkan faham tajsim (membendakan Allah). Begitu dalam terjemahan surah Al An’am 76 ”Ketika malam menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: Inilah Rabb-ku” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Alih bahasa semacam inipun menyisakan masalah berupa pemahaman bahwa Ibrahim AS pernah mengakui  tuhan selain Allah, hal yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang utusan Allah. Begitu juga terjemahan-terjemahan lainnya yang tidak sedikit memunculkan pemahaman yang keliru.

Pertanyaan:
a. Bagaimana konsep terjemah Al Quran yang dibenarkan?

b. Apakah terjemahan diatas dapat dibenarkan?

c. Jika tidak, sebagai contoh bagaimana terjemahan yang tepat untuk dua ayat diatas?

(Pertanyaan dari PCNU Kabupaten Blora)




3. MUKENA POTONGAAN
Deskripsi masalah:

      Dewasa ini banyak sekali dijumpai mukena dengan model potongan, bagian atas dan bawah terpisah. Motif, warna dan coraknyapun bermacam-macam, sebuah inovasi produk alat sholat guna mendongkrak penjualan dan menarik minat konsumen, karena disamping lebih praktis mukena model ini juga sangat trendy.

      Pemakaian mukena jenis ini sering menimbulkan masalah, berupa terlihatnya sebagian anggota tubuh wanita saat mengangkat tangan guna melakukan takbir atau saat ruku’ jika tidak memakai baju lengan panjang.


Pertanyaan:
a. Adakah pendapat ulama yang membolehkan terlihatnya sebagian anggota tubuh wanita (lengan tangan) dalam sholat seperti kasus diatas?

b. Bagaimana hukum memproduksi mukena dengan mode potongan yang berpotensi terlihatnya sebagian aurat wanita saat memakainya dalam sholat?

c. Benarkah mukena warna putih lebih afdhal dibanding warna lain?

(Pertanyaan dari PCNU Kabupaten Grobogan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar